Aku dilahirkan pada hari Senin tanggal 9 Juli 1979 (9779)bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1399 Hijriyah. Secara kebetulan, angka sembilan merupakan indeks angka tertinggi dalam mitologi mistik dan numerologi di dunia. Angka sembilan juga dipandang sebagai angka keramat. Bahkan Numerologi, sebuah cabang ilmu pengetahuan di dunia yang mengkaji watak dan kepribadian seseorang melalui angka dan jalur (indeks) kelahiran memberikan analisa bahwa seseorang yang dilahirkan pada tanggal sembilan atau memiliki indeks angka sembilan cenderung tertarik dan dekat dengan hal mistik, metafisika dan dunia supranatural. Jika dijumlahkan, tanggal kelahiranku memiliki indeks angka enam (Dari hasil penjumlahan, 9 + 7 + 1 + 9 + 7 + 9 = 15 yang ditotalkan menjadi 1 + 5 = 6 . Hal ini senarai dengan Indeks Numerologi dari nama lahirku : "F e k r i J u l i a n s y a h" = 15 huruf, jika dijumlahkan 1+5 = 6
Angka enam dalam numerology mencerminkan watak pekerja keras dan pencinta dunia seni. Sedangkan dari tanggal kelahiran, aku memang berada di tanggal (angka) sembilan. Angka enam dan sembilan adalah kesatuan angka yang bolak balik. Angka enam - sembilan bermakna keseimbangan. Mereka yang lahir di tanggal sembilan biasanya memiliki daya feeling yang kuat, indera perasa (Indera Keenam) yang tajam. Kepekaan rasa tersebut kadangkala membawa karakter positif sebagai sosok yang berjiwa sosial tinggi dan mencintai dunia seni. Mereka yang dilahirkan di angka sembilan memiliki rasa iba yang berlebihan dan mudah kasihan bilamana melihat orang lain susah atau mengalami kesulitan. Mereka juga memiliki kemampuan di bidang seni seperti suka menulis puisi dan tertarik dengan dunia entertainment. Sebaliknya, seseorang yang dilahirkan pada angka tersebut cenderung memiliki karakter negatif yakni gampang tersinggung karena daya sensitifnya yang tajam. Bila dilihat dari astrologi, aku memiliki zodiak Cancer. Lambangnya kepiting. Cancer mencerminkan watak pekerja keras, berjiwa sosial dan mudah tersinggung.Aku memang menyenangi angka sembilan. Hal ini menjadi sugesti tersendiri pada diriku pada saat duduk di bangku Sekolah. Hingga tak sedikit nilai raporku ditulis dengan angka sembilan. Hal ini terus berlanjut hingga aku duduk di bangku SMU. Alhamdulillah, angka sembilan juga berpengaruh pada nilai-nilai di ijazahku yang mengantarkanku masuk Perguruan Tinggi Negeri yaitu Universitas Sriwijaya tanpa test melalui jalur PMP/PMDK yakni singkatan dari Penelusuran Minat dan Prestasi atau Penelusuran Minat dan Kemampuan. Alhamdulillah, aku diterima d Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sriwijaya pada tahun 1997 tepat di urutan pertama (No.Reg/NIM.07973101001). Sebetulnya, aku dan ayahku lebih memilih melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Jatinangor, Bandung, Jawa Barat. Sayangnya, jadwal pendaftaran berbarengan dengan jadwal daftar ulang di Universitas Sriwijaya. Akhirnya, aku pun memilih yang pasti-pasti saja yaitu di FISIP UNSRI karena sudah positif diterima. Sedangkan di STPDN di masa Orde Baru itu banyak sekali faktor penentu tidak hanya soal kecerdasan tetapi juga dukungan uang ataupun beking pejabat.
Menjadi Juara pada lomba Balita Sehat di Puskesmas Pulau Beringin, OKU, SUMSEL(1979) *
Guru pertamaku namanya H.A. Roni. Murid-murid di sekolahku dan masyarakat menyapanya dengan sebutan “Guru Huni”. Dari beliaulah aku pertamakali mengeja Alfabet, belajar menulis dan membaca. Maklumlah, Guru Huni itu adalah Wali Kelasku. Meski usianya sudah tua, namun cara-cara mengajarnya menjadi panutan guru-guru lainnya. Beliau memperkenalkan huruf Alfabet dari A-Z dengan irama tertentu yang tetap kuingat hingga kini. ( kalau tidak salah pada saat kami kelas tiga, beliau meningal dunia. kami pun merasa kehilangan yang sangat mendalam).
Hari-hari pertama sekolah, aku sering bertanya kepada Ibu. “Kapan sekolah liburnya? (kebile mangke peray endung?) ”.Padahal baru beberapa hari saja masuk sekolah. Berbagai bujuk rayu Ibu meluluhkan hatiku. Ibuku sangat menginginkan aku menjadi anak yang rajin dan pandai. Akhirnya ia membujukku dengan memberikan uang jajan yang lebih perhari. Kalau biasa seratus rupiah, maka diberi lebih hingga limaratus rupiah (musim itu, pacak mbeli misuh, ubi, tikwan, nyusuk pule. Tanyekah la nga ibung Rumai (endung Yan), Nining Irna,dll. Lambat laun, aku pun bersekolah seperti anak-anak lainnya.Bahkan sangat rajin dan tekun.
foto masa SD bersama Sarwani
Beberapa Guru lain yang mengajarku seperti Ibu Jum (guru agama), Pak Mahyudin (guru Olahraga),pak Aburahman (IPA), pak Usman (guru Matematika), Pak Adsin (guru Kesenian), Ibu Ratimi (Wali Kelas Dua), Ibu Herlina Maswartini (Wali Kelas Tiga), Ibu Rustati (Wali Kelas Empat),Pak Usman (Wali Kelas Lima) dan Pak Tasman Daulah (Wali Kelas Enam)
Pada saat kenaikan kelas lima , sekolah kami dimekarkan menjadi dua, yaitu SDN 02 dan SDN 04. Kepala Sekolah SDN 04 saat itu Pak A. Sawani. Aku sangat menyenangi pelajaran yang berkaitan dengan agama, sejarah dan negara seperti agama, IPS, PSPB dan PMP. Meskipun demikian aku juga menyenangi pelajaran IPA dan Matematika dan mendapat nilai yang cukup bagus (sampai kelas empat SD). Kegemaran di bidang sosial karena aku mudah menghafal. Kegemaran di bidang IPA karena hobiku masih kecil berkutat dengan permainan listrik dan mesin mobil-mobilan. Khusus pelajaran Olahraga nilaiku pas-pasan saja. Maklumlah selain sering sakit (asma) juga disebabkan aku kurang pandai bermain bola voli (bola voli menjadi salah satu olahraga pokok saat itu). Guru Favourite ku adalah Pak Tasman Daulah. Puncaknya pada kelulusan (8 Juni 1991) beberapa mata pelajaran di rapot ditulis dengan angka sembilan. Aku pun sering diikutsertakan di beberapa kegiatan seperti cerdas cermat antar sekolah (sayangnya pada saat itu sering ada kecurangan, kebocoran soal pada peserta tertentu yang masih ada hubungan keluarga dari Pegawai Lingkungan Kandep; Depdikbudcam Pulau Beringin).Ada banyak kegiatan sekolah yang berkesan semasa SD di antaranya saat karnaval dan gerak jalan tujuhbelas agustusan, saat jalan-jalan sebelum pembagian rapot (bekilah damenye), saat menari di panggung (empuk bugagh/bugae, anye pacak nari pule, kanye banci au!) . Beberapa tarian yang masih kuingat yaitu tari modern yang diiringi lagu "Madu dan Racun". Dalam tarian ini aku berada paling tengah dan dikelilingi empat pelajar putri yaitu bik Eka Yuliastina, Resthayana, (dan lupa yang lainnya). Lalu ada juga tarian yang diiringi lagu "Duh Engkang", kami berpasang-pasangan yaitu Eka (kelawai parsun), Devi (humah mak Sahrin), Sarbaini Hamid (Amit ading Teman). Pada saat kelas lima dan enam kami pun sering belajar kelompok di malam hari . Tempat belajar bergiliran (seperti arisan) kemudian ada jamuan minuman dan makanan ala kadarnya seperti kemplang belitang, pisang goreng, lontong, tekwan dan cakcak misuh). Teman-teman belajar kelompok itu antara lain Junitawati (anak Pak Syahwani), Yeni Maswita, Norman Kifli (biasa dipanggil Jibril), Afrizon (biasa dipanggil Icun), Devi (anak Mang Sahrin mak ini jadi bini Icun), Syarbaini Hamid, Sadadi, Kimyono, Edi Suryanto, dll)
Tidak bisa Lafazkan huruf L dan R (Cadel;Tiluw)
Sakit dan Musibah yang Membawa Hikmah
Masa kecilku tak ubahnya dengan anak-anak desa lainnya. Sekolah dan bermain layaknya anak-anak seusiaku. Hanya saja, pada saat itu, aku sangat menderita dengan penyakit asma (sesak nafas) yang menggerogotiku. Tak jarang, kalau lagi kumat, aku susah sekali tidur. Suara mengi dan nafas yang terengah-engah menemani kesunyian malam-malamku. Untunglah aku memiliki seorang Ibu yang sangat memperhatikanku. Dengan sabar dan telaten beliau menemani tidurku hingga aku duduk di bangku kelas enam SD. Maklumlah, aku anak bungsu dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki. Untuk mengurangi sesak nafasku, aku tidur dalam posisi duduk sambil merengkuh tumpukan bantal di pahaku. Kejadian ini berulang-ulang hingga kelas tiga SMP. Di masa itu, aku benar-benar merasakan penderitaan yang berkepanjangan. Apalagi tempat sekolah terbilang cukup jauh yaitu mencapai 6 km dari rumahku. Aku bersekolah di SMPN I Pulau Beringin yang terletak di kawasan Gunung Besar desa Tanjung Kari, Kec. Pulau Beringin. Berarti, sehari aku harus menempuh perjalanan lebih kurang 12 km dengan berjalan kaki. Cuaca pagi hari kadang tak bersahabat. Ya, namanya saja kawasan perbukitan. Kabut embun pagi yang menggumpal dan udara yang terlampau dingin hingga menusuk tulang, menyebabkan penyakitku seringkali kambuh. Kalau lagi kambuh, jangankan berjalan kaki sejauh 6 km, bernafas dan berbicarapun aku mengalami kesulitan. Beruntung, teman-teman seperjuangan seperti Wahyudi, Sultan, Suhairin, Emyadi, dll baik padaku. Kalau nafasku lagi terengah-engah merekalah yang membawakan tas dan perbekalanku. Tapi , kalau sudah puncaknya, aku terpaksa minta izin untuk tidak pergi ke sekolah. Padahal sangat berat bagiku. Apalagi aku merupakan ketua kelas. Orangtuaku sangat merisaukan keadaanku. Masih muda tapi seperti orang yang sudah tua renta!! Sedihnya kalau kuingat penderitaanku saat itu.
Sesekali juga aku diantar-jemput oleh ayahku dengan sepeda motor biasanya saat ulangan atau ujian sekolah. Aku pun tak ingin merepotkan ayahku yang bekerja di salah satu instansi di Kecamatan. Pada tahun 1992 hingga 1994, jalan raya yang menghubungkan desaku dengan kota Muaradua sedang giatnya dibangun dan diaspal. Oleh sebab itulah banyak kendaraan proyek berupa mobil pengangkut aspal dan material jalan lainnya seperti batu dan pasir yang melewati jalur sekolahku dan desaku. Hampir tiap hari kami berupaya memberhentikan mobil dan menumpang. Bahkan kadang memaksa truk-truk itu berhenti. Itupun kalau lagi nasib mujur. Tak jarang, kendaraan proyek yang lalu lalang tidak megizinkan kami menumpang mengingat resiko dan dikejar waktu. Aku pun kadang-kadang ikutan nakal bersama kawan-kawan untuk menyetop kendaraan yang lewat. Pernah suatu ketika, kami mengejar kendaraan proyek yang tengah melaju kencang. Kami pun terpaksa duduk di atas tumpukan pasir ataupun batu. Bagi kami yang penting segera tiba di rumah. Parahnya lagi, pernah juga kami yang berada di bak truk tersebut dipaksa turun . Bak truk itu secara otomatis terangkat seperti menurunkan barang dan benda mati saja. Namun banyak juga sopir-sopir yang baik hati. Beberapa nomor kode truk-truk fuso itu masih kami ingat seperti nomor kode 40, 41, 13, 27, dan 46. (Salah satu dari sopir itu kini ada yang menjadi saudara angkatku, namanya Kak Herman)
Sore itu, kala usiaku sekira lima tahun aku bermain loncat-loncatan di depan rumah Bik Wati. Saat aku akan melompati siring (selokan) depan rumah tersebut, salah seorang temanku bernama Aldin mendorongku hingga jatuh mengenai dinding selokan. Tak ayal lagi, kening bagian kanan tepatnya di atas alis mengeluarkan banyak darah. Aku pun digendong ibu ke rumah sakit dan lukaku dijahit dengan beberapa jahitan. Beberapa hari kemudian di rumahku berlangsung acara "Nepung" atau tolak bala’ semacam acara “buang sengkolo” di Jawa atau “tepung tawar” di Aceh. Orangtua Aldin (Mang Ruki) yang juga seorang mantri kesehatan mengantarkan beberapa perangkat acara seperti seekor ayam untuk menebus kesalahan anaknya dan membiayai pengobatanku.
Suatu ketika aku diramal oleh salah seorang keluargaku yang juga seorang “dukun kampung”, Namanya Wak Rosmaniar binti Abdul Muthalib, istri Wak Buchari Syam, salah seorang guru ngaji di kampungku. Tahi lalat yang ada di mukaku ditafsirkan oleh Wak Dasrul, sapaan halus dan hormat dariku padanya karena anak tertuanya bernama Dasrul. Wak Dasrul memang merupakan saudara sepupu ayahku.Tahi lalat yang banyak di wajahku ditafsirkannya sebagai tanda kebaikan. “Insya Allah kele dengah kah njadi jeme tepandang”, katanya dengan bahasa Semende yang artinya “Kelak engkau akan menjadi orang terpandang !”. Beliau juga menjelaskan satu persatu makna tahi lalat di mukaku (sepertinya akupun tengah belajar mengartikan makna tahi lalat).
Sebelumnya aku sangat risih bahkan berniat membuang tahi lalat tersebut. Aku tidak percaya begitu saja dengan ramalan. Bagiku, yang penting berusaha menjadi yang terbaik dan berada di jalan-Nya meski aral melintang, cobaan dan derita kerapkali menimpa. Hingga, usiaku menginjak tigapuluh tahun, kata-kata (almarhumah) Wak Dasrul itu masih terngiang dalam benakku. Meski beliau sendiri telah tiada. Masalahnya kapan ramalan itu menjadi kenyataan? Ya mudah-mudahan saja menjadi orang yang terpandang minimal memiliki kepribadian yang baik meski tidak memilki jabatan dan kedudukan apapun. Wallahu alam bis shawab.
Suatu ketika di tahun 1980 usiaku masih berbilang bulan. aku dimandikan Hj. Ning (nenek humah ibung Yur ) salah seorang adik perempuan dari kakekku (jalur ayah) di Ayik Luas, sebuah sungai besar dan mengalir deras di desa Muara Sindang, kampung kakek buyutku (alm) H. Abdul Wahab Muarasindang. Lokasinya berjarak sekira 15 km dari Pulau Beringin. Saat itu aku menangis tak henti-hentinya. Menurut cerita ibu, pada saat itu aku tengah melihat penampakan berbagai makhluk gaib di kawasan sungai besar dan beraroma mistik itu. Berbagai cara dilakukan untuk menghentikan tangisku. Namun tak satupun berhasil. Akhirnya aku dibawa ke Kiaji Harun, salah seorang sepuh di Muarasindang dan juga Kebali'an Jeme ( dukun kampung). Setelah dibacakan jampi-jampi (mantera) oleh Kiaji Harun akupun berhenti menangis.
Hajjah Ning (Nining Ghumah Ibung Yur) nga Nining Ghumah Wak Sum/Nining Ubat, Marsindang
Aku masih ingat, di usia Balita aku sering mendapatkan mimpi yang menakutkan dan menyeramkan. Mungkin karena berbagai kejadian mistik itulah mengantarkanku memperdalam olah spiritual dan kebatinan. Dari kecil, aku pun sudah terbiasa merapalkan jampi-jampi yang secara tak sengaja kudapatkan dari lemari ayahku. Lalu aku pun banyak bertanya dan meminta jampi-jampi kepada mereka yang memilikinya. Aku pun gemar mengolah tenaga dalam dan kebatinan meski pada saat itu tanpa bimbingan langsung dari guru. Aku mempelajari buku-buku beraroma kebatinan dan supranatural salah satunya buku Mujarobat yang kubeli di kalangan (pasar Minggu) di desaku. Aku pun mulai mengamalkan jampi atau mantera peninggalan leluhurku yang tersimpan di rumahku. Aku pun gemar melihat pertunjukan sulap dan akrobat yang acapkali digelar di desaku. Ingin sekali rasanya memiliki kepandaian seperti itu. Suatu hari, di balai desa tepatnya samping Masjid Jamik Pulau Beringin, aku melihat seorang manusia dipotong lehernya dan mengeluarkan darah. Namun ternyata yang disembelih sebetulnya seekor kambing. Ya sebuah permainan yang kemudian kukenal dengan nama debus. Pada pertunjukkan itu kulihat juga Om Umar Hasan (tetangga depan rumah) dimasukkan seutas tali di kuping kiri maka keluar di telinga kanan. Ada juga pertunjukan akrobat dengan melewati lingkaran api, manusia dilindas sepeda motor dan mengendarai sepeda motor dengan mata tertutup di lapangan Kantor Pos Pulau Beringin . Lagi-lagi, aku sangat tertarik ingin mempelajari dan bisa melakukan atraksi serupa. Tapi dimana bisa belajar??, bisikku dalam hati. Di depan SDN 1 Pulau Beringin pernah juga digelar atraksi sulap seperti mengeluarkan makanan di dalam sebuah kotak, Pernah juga di sekolahku, SMPN 1 Pulau Beringin berlangsung sebuah pertunjukan sulap dan hipnotis. Seorang siswa dibuat badannya terasa gatal-gatal.
Suatu malam sekitar tahun 1989 di lapangan koramil aku menyaksikan atraksi yang dilakukan oleh seorang dokter Puskesmas Pulau Beringin namanya dr. Tris Sudiartono dengan bertelanjang dada ia tidur di hamparan paku yang menancap tajam. Anehnya, tanpa luka sedikitpun mengenai tubuhnya. Ada juga seseorang ditidurkan lalu di atas badannya diletakkan buah ketimun lalu sang dokter pun membelah buah tersebut. Si landasan tidak tergores sedikitpun. Lagi-lagi aku sangat tertarik untuk memiliki ilmu tersebut.
Beberapa pertunjukan supranatural itu menggugahku untuk mencari dan mencari tempat belajar demi mengasah ilmu. “Ach, paling tidak aku bisa memiliki satu pertunjukan yang bisa kupertontonkan pada semua orang”, kataku dengan nada emosi dan sedikit sombong. Mulailah aku berlatih dengan sepeda yang kukayuh tanpa memegang kemudi (stang) alias lepas tangan. Dengan angkuhnya, saat itu aku selalu mempertontonkan atraksi di atas sepeda bersama Ali Ardhani alias Ucu (Putra Mang Hasan Basri, staf kantor Camat Pulau Beringin), usianya lebih muda setahun dariku. Mulai dari lepas tangan, berdiri di atas satu sadel, hingga merebahkan badan di atas kereta agar dilihat orang. Kalau hujan tiba, aku bersepeda dengan kedua tanganku memegang payung. Hal ini terbawa pula saat berpergian ke sekolah dengan sepeda. Khususnya waktu pulang sekolah SMP (Tanjung Kari), jalan menurun ataupun datar tak halangan bagiku untuk mengendarai sepeda tanpa memegang kemudi. Apalagi kalau ada mobil di belakang yang melihatku. Salah satunya bus mini bertitel “Mari-Mari” yang acapkali kujadikan teman layaknya di arena balap. Sejujurnya, saat itu ada juga temanku yang lebih sombong daripadaku. Dialah Adi Basthian (Putra Mang Ansori), bukan hanya bersepeda yang acapkali lepas tangan, namun ketika mengendarai sepeda motor pun ia selalu membawanya kencang. Suatu ketika Adi Basthian pun mengalami kecelakaan. Sepeda motornya bertabrakan dengan mobil di jalan menuju ke Muaradua Kisam. Keangkuhan tersebut juga berakhir pada diriku. Manakala suatu hari sepedaku tergelincir di jalan menurun (tebing) dekat pasar Senin. Lututku tergores saat jatuh ke aspal. Meski tak separah Adi, hatiku berkata, saat itu pasti ada orang yang punya “ilmu” melihat atraksiku dan mencoba menyadarkan kesombonganku atau tengah mengerjaiku. Yang jelas Allah SWT sangat murka akan kesombongan setiap hamba-Nya.
Sepertinya ada daya tarik yang terus menerus menuntun langkahku untuk mencari dan belajar hal-hal kebatinan (supranatural). Hal ini berlangsung hingga tamat SMP. Setelah menginjak SMU di Kota Pagaralam aku pun berguru langsung di perguruan Al Hikmah dan para sepuh di Tanah Besemah.
Pada Puncak Peringatan 17 Agustus 1994 di Lapangan Ahmad Yani Kota Administratif Pagaralam, Kabupaten Lahat (Sekarang Kota Pagaralam), setelah Upacara Bendera dipertunjukkan atraksi Beladiri oleh sebuah Perguruan di kota ini. Di lapangan tersebut beberapa orang ikhwan (murid) tampak tengah menguji ilmu mereka. Ketika menyerang ikhwan yang lain, si Penyerang mendadak terpental. Aku teringat dengan beberapa tulisan dan artikel tentang “Ilmu Al Hikmah” yang pernah kubaca waktu di SMP. “Mungkin ini yang aku cari”, bisikku dalam hati. Aku pun mendekati beberapa di antara mereka dan menanyakan perihal ilmu tersebut kepada salah seorang Ikhwan Senior yang bernama “Rebin”. Dari penjelasan bang Rebin ini, beberapa hari kemudian aku mendatangi Perguruan tersebut di Jalan Indragiri Pagaralam. Setelah mendapat petunjuk oleh salah seorang pengurus Yayasan Insan Al Hikmah tersebut, aku pun mendaftarkan diri untuk menjadi murid di perguruan beladiri Tenaga Dalam Islam tersebut.
Sejak saat itu, aku pun aktif mengikuti latihan pada setiap Malam Minggu di Lapangan Kasbit, sebuah tempat yang sunyi dan berada di sebuah talang sekira 300 meter dari jalan raya Indragiri. Ba’da Isya’, aku berjalan seorang diri berjalan kaki dari tempatku tinggal di Jalan AIS. Nasution No. 1 Pagaralam menyusuri kota dan menuju tempat latihan di pinggiran kota. Pada saat itu, aku tergolong ikhwan (murid) yang masih berusia muda. Rata-rata teman seperguruan telah bekerja dan berusia sebaya dengan orangtuaku. Ada yang berprofesi sebagai seorang guru, polisi, pengusaha, pegawai,dan lain sebagainya. Dengan demikian aku memiliki cukup banyak relasi. Pada Malam Jumat, kami pun berkumpul untuk “Wiridan” bersama. Kadang-kadang di malam Jumat tersebut kami bersama-sama membantu persoalan yang tengah dihadapi ikhwan atau pun orang lain seperti orang kehilangan barang dsb.
Ketekunanku berlatih membuahkan hasil. Tiga bulan setelah belajar atau memasuki tahun 1995, aku telah mampu menguji atau dalam istilah kami “Mengetes” ilmu ihwan lainnya. Pada Saat latihan, aku tidak hanya menjadi "Penadah" tetapi juga bisa menjadi “Penyerang”. Kemampuan ini dalam ilmu metafisika dinamakan kemampuan “Mendeteksi”. Bila telah memiliki kemampuan ini bukan hanya bisa dipakai untuk menguji coba ilmu rekan pada saat latihan, melainkan dapat digunakan untuk mengetahui segala persoalan dunia metafisika seperti mendeteksi keberadaan makhluk gaib, deteksi benda pusaka, deteksi tempat keramat, deteksi hasil isian pada benda dan sebagainya.
Mulailah pengalaman di bidang Metafisika bertambah. Hampir tiap Minggu, aku berhadapan dengan orang-orang sakit, terutama sakit yang disebabkan gangguan makhluk halus alias kesurupan. Di antara mereka yang kesurupan itu antara lainnya adalah Lena, siswi SMEA PGRI Pagaralam yang tepat bersebelahan dengan rumah kami. Perempuan dari desa Air Dingin Lama ini dirasuki makhluk halus.
Pengalaman luar biasa lainnya saat Lisa, siswi SMUN I Pagaralam kesurupan dan mengguncangkan kota Pagaralam dan sekitarnya.
Pengalaman tak henti-henti itu berlangsung hingga aku tamat SMU baik waktu di Kepecintalaman, pramuka maupun yang lainnya.
Pada tahun 2003, tepatnya di ruang sholat di kantor sebuah Yayasan Sosial di Jalan DR.Supomo Palembang, aku pun kembali bermimpi menghadiri pertemuan para Wali. Namun kali ini aku berjumpa dengan Para Walisongo dan jamaahnya. Aku berjabat tangan langsung dengan Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Djati. Ada energi yang mengalir di telapak tangan hingga sampai ke tubuhku, seolah-olah ada sesuatu yang masuk. Di sinilah aku tau ternyata aku masih bernasabkan (keturunan) Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Djati, Raja Kasepuhan Cirebon dan dari keturunannya pula melahirkan Kesultanan Banten. Aku bertambah giat mempelajari silsilah baik dari buku maupun dengan para tetua adat dan para "orangtua" (guru tauhid). Aku juga merasa aneh karena hampir setiap tahun berjumpa dengan Paduka Bung Karno yang tidak nyata tapi nyata, mimpi yang bukan mimpi.. Terakhir pada malam 1 Ramadhan 1428 H beberapa tahun lalu. Tentunya hasil pertemuan itu tidak bisa kujelaskan di sini..
Video: Menjadi salah satu Paranormal Kondang Indonesia, Praktek Pengobatan dan memimpin Padepokan Bumi Serunting Sakti untuk memperkenalkan khazanah budaya daerahnya . ( Dok: Youtube)